Legenda Wae Rebo
Ini adalah sebuah legenda, yang mungkin tak semua orang yang berkunjung ke sana mengetahuinya. Sebuah legenda turun-temurun yang aku dapatkan langsung dari generasi ke-19 keturunannya. Sebuah legenda tentang kampung di atas awan bernama Wae Rebo, atau tepatnya, sebuah legenda tentang seorang pria yang berasal dari Tanah Minang, bernama Maro.
[Tanah Minang? Tapi bukankah Wae Rebo itu terletak di Manggarai, Flores?]
Nah, itulah bagian menarik dari legenda ini yang akan aku kisahkan, mohon sabar dulu kawan, karena kisah ini akan segera dimulai. Dan, sama seperti legenda-legenda yang lain, aku akan memulai kisah ini dengan kalimat pada suatu hari.
Di pertarungan terakhirnya, dikisahkan bahwa kerbau milik Maro memenangi pertandingan dengan menang KO setelah membuat kerbau milik lawannya tersungkur mencium tanah. Lawan yang kalah ternyata tak terima; dia menuduh Maro bermain curang, dan setelah mendapat dukungan dari orang-orang sekampung, dia mengancam akan membunuh Maro.
Maro yang terdesak, kemudian memutuskan untuk melakukan sebuah hal yang biasa dilakukan pemuda Minang yang beranjak dewasa: Merantau, dan mungkin saja berencana mendirikan Rumah Makan Padang di daerah tujuannya.
[Merantau, atau kabur nih?]
Tepatnya, Maro pergi berlayar demi keselamatannya.
Dalam perjalanannya ke arah timur, atau berlawanan dengan Kera Sakti yang bergerak ke arah barat, Maro sempat singgah di Gowa, Sulawesi, sebelum berpindah lagi ke arah selatan, menuju sebuah Pulau bernama Flores. Di Flores, Maro singgah di Bajo, kemudian Wara Loka, sebelum memutuskan untuk berlayar ke selatan pulau karena tidak kerasan, dan berdiam ke suatu daerah bernama Nangapaang, yang lokasinya saat ini berada di dekat Dintor.
Pada sebuah siang yang sangat terik, saya berangkat beserta ketujuh teman perjalanan saya yang imut-imut itu ke Wae Rebo, sebuah kampung yang terletak di balik pegunungan di Manggarai, Flores, pada ketinggian sekitar 1.200 meter dari permukaan laut.
Perjalanan tersebut ternyata tidak dapat dibilang mudah, karena kami harus berpindah-pindah moda transportasi, mulai dengan menggunakan mobil sewaan dari Ruteng menuju Dintor yang melewati Kampung Todo, berpindah lagi dengan menggunakan truk lokal menuju Denge, sebelum akhirnya berjalan kaki menuju Wae Rebo sejauh kurang lebih 5 kilometer dengan kondisi trek yang terjal menanjak, menyusuri rain forest di selatan Flores.
Tak mengapa, karena saya sudah terbius pesona Wae Rebo yang diceritakan oleh mereka yang sudah pernah mengunjunginya. Jalan terjal dan menanjak, saya anggap, ah cemen! Saya kan biasa naik-turun mal di Jakarta.
Sebuah anggapan yang langsung saya telan bulat-bulat lagi, begitu kami memasuki trek yang sesungguhnya.
Asap yang dilihat oleh Maro, ternyata asalnya dari Kampung Todo. Tidak disebutkan dengan jelas pada kisah tersebut, apakah asap tersebut berasal dari rumah yang terbakar, atau hanya ibu-ibu arisan yang sedang memasak bersama. Yang jelas, asap tersebut telah membuat Maro penasaran dan mendatangi kampung tersebut, yang karena karismanya –atau hanya karena keberuntungan, Maro langsung diterima dengan baik di sana.
Pada hari ketiga kedatangannya di Todo, diadakan pemilihan ketua suku, dan mengejutkannya –entah karena ketampanan, kepintaran, atau karismanya, Maro dipilih menjadi ketua suku!
Maro yang merasa belum pantas pun menolak jabatan tersebut, sehingga akhirnya diangkatlah seorang lain yang lebih muda. Nantinya, kawan, karena kisah ini, penduduk Todo dan Wae Rebo akan menjadi bersaudara, dengan Todo sebagai adik, dan Wae Rebo sebagai kakaknya. Bahkan rumah-rumah yang dihuni penduduk kedua kampung itu sangatlah mirip, sebuah rumah yang bernama Mbaru Niang.
[Lalu, mana kisah Wae Rebo-nya?]
Sabar kawan, karena kisah Maro masih sangat panjang. Tapi okelah, untuk kalian, kisah ini akan aku persingkat. Singkat cerita, Maro akhirnya hengkang dari Kampung Todo, dan tiba di Kampung Poppo.
Komentar
Posting Komentar